Suatu ketika, rombongan
keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan
Ampel tergangu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari
berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu
sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk
rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur
aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjudkan
perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan
kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa
dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di
makam Sunan Ampel.
Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek
itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad
Siddiq.“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH.
Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah
Jawa.Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu
tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid. KH. Ahmad Siddiq hanya
diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu
tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan
nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak
sanggup,” tegas KH. Hamid.Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH.
Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke
Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.
Begini, Kiai Ahmad, saya dengan
Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga
menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam
saja,” jawab KH. Djazuli.Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad
Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek
dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke
Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal
itu.Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga
harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab
ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq
pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq
pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.
Setelah kekacauan akibat
pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya
mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut,
Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak
naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada
KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga
para pengikutnya pun ikut diam membisu.
Tiba-tiba di pekarangn rumah
KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir
di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid,
dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang
menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.Maaf, orang itu apakah Kiai
Hamim?”Amar mengangguk.“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya
potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu
yagn ternyata adalah KH. Hamid.
KH. Hamid ternyata tidak
mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan
karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika
ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus
Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang.
Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek
berusia sekitar 9 tahun.Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid.
Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain.
Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak
dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.Mid,Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.
Gus
Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam
menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam
perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa
tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”Mungkin karena Kiai Hamid adalah
kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.Walaupun kemenakannya saya
tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus
Miek masih dalam keadaan emosi.Setelah emosinya mereda, Gus Miek
berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah
Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang
paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.Pada kesempatan yang lain, Gus
Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk
mencari Habib Ahmad as-Syakaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat
dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper seharian berputar-putar di Pasuruan,
belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad,
tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syakat. Hingga diputuskan”
pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan.
Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,”
sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.Setelah
di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda
berwarna hijau kepada Gus Miek.Ini, Gus, saya beri sarung, silakan
shalat dulu,” kata KH. Hamid .Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian
menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang
dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya
shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk
bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH.
Hamid.Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya
khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,”
kata KH. Hamid.Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri
mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya
kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya.
KH. Hamid menyuruh Gus Miek
mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian
memintanya kembali.Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada
di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid
berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji
koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada
Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila
sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.
Ketiganya lalu berpamitan dan
segera mencari rumah Habib Muhamad as-syakaf sebagaimana petunjuk KH.
Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di
rumah Habib Muhamad as-syakaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang
keras dan lantang.Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syakaf.Mau minta
doa shalawat,” jawab Gus Miek.Apa belum shalat, di dalam shalat kan
banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syakaf.Habib
Muhamad as-Syakaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan
tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syakaf
sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.
Usai shalat, Habib Muhamad
as-Syakaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan
tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syakaf menuangkan kopi jahe khas
Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dn sisuruh
menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu,
Habib Muhamad as-Syakaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus
Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua
pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil
itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek
harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu
sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa.
Setelah puas saling membuktikan
kemampuannya, Habib Muhamad as-Syakaf menyuruh Gus Miek berdoa dan
dia mengamininya.Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj
memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya,
menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena
Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin
mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,”
(sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta
sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia
kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.
Setelah
tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak
pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang
simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk
mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul
dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek
meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang
memhami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia
tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran
rumahnya).Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid. Ploso, jawab Maskur. Gus
Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.Ya, tidak
tahu,” jawab Maskur.Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak
salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,”
kata KH. Hamid .Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung,
Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik
ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek
tiba-tiba muncul.Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta
rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan
shalat Gus Miek,
ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.Lho, itu yang kau
tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak
KH. Hamid seperti gugup.KH. Hamid kemudian membukakan jendela. Lihat,
itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.Orang itu gemetar dan pucat
karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon
mangga, beralaskan daun-daun mangga.Sudah, cari Gus Miek dan minta
maaf,” perintah KH. Hamid.Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru
bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.
No comments:
Post a Comment